Dalam era digital yang serba terhubung seperti sekarang, media sosial bagai pisau bermata dua. Di satu sisi, ia menawarkan jangkauan dakwah yang luas dan instan. Namun di sisi lain, ia justru bisa menjadi jerat yang mengalihkan fokus dari esensi dakwah itu sendiri. Jika kita mencermati para ustadz senior yang telah melahirkan banyak murid dan karya, ada pola kebijaksanaan yang patut kita teladani.
Keteladanan yang Nyata: Fokus Tanpa Distraksi
Coba perhatikan para ulama dan ustadz senior seperti Ustadz Abu Nida حَفِظَهُ اللهُ dengan kajian-kajian tauhidnya yang mendalam, Ustadz Annur Rofiq حَفِظَهُ اللهُ dengan pembahasan fiqhnya yang detail, Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abdat حَفِظَهُ اللهُ dengan keteguhan dalam berpegang pada sunnah, atau Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas رَحِمَهُ اللهُ dengan kitab-kitab tulisan beliau yang menjadi rujukan. Kehidupan mereka tidak kita lihat sibuk mengurusi update status, like, share, atau komentar di media sosial.
Mereka memilih untuk fokus pada tujuan utama: mendalami ilmu, menulis karya, dan membina umat secara langsung. Konsistensi inilah yang membuat dakwah mereka kokoh, berkelanjutan, dan menghasilkan buah yang nyata—berupa generasi yang berilmu, buku-buku yang bermanfaat, dan komunitas yang kuat. Kesuksesan dakwah mereka tidak diukur dari jumlah pengikut, tapi dari kedalaman ilmu dan dampak positif yang mereka tinggalkan bagi umat.
Data dan Fakta: Dampak Negatif Media Sosial yang Terabaikan
Memang tidak dapat dipungkiri, platform seperti Facebook, Instagram, YouTube, dan TikTok memiliki manfaat untuk syiar. Namun, berbagai penelitian telah membuktikan dampak negatifnya yang besar:
- Gangguan Mental dan Stres: Sebuah studi yang diterbitkan dalam Journal of Social and Clinical Psychology menemukan korelasi antara penggunaan media sosial yang tinggi dengan peningkatan perasaan depresi dan kesepian. Algoritma yang dirancang untuk membuat kita "ketagihan" seringkali memicu fear of missing out (FOMO), kecemasan, dan perbandingan sosial yang tidak sehat.
- Penyebaran Hoaks dan Polarisasi: World Health Organization (WHO) bahkan menyebut fenomena "infodemic" (banjir informasi berlebihan, termasuk misinformasi) selama pandemi. Media sosial menjadi faktor utama penyebaran hoaks dan ujaran kebencian yang memecah belah masyarakat.
- Penguras Waktu dan Produktivitas: Data dari We Are Social dan Hootsuite (2023) menunjukkan rata-rata orang Indonesia menghabiskan 3 jam 18 menit per hari di media sosial. Bayangkan jika waktu yang sedemikian besar dialihkan untuk membaca kitab, menulis, atau mempersiapkan materi dakwah.
Seruan untuk Bijak: Utamakan Dakwah Substansial
Bagi seorang da'i, media sosial hanyalah alat, bukan tujuan. Terjebak dalam hiruk-pikuknya justru dapat mengaburkan misi utama. Berikut beberapa langkah bijak yang dapat diambil:
- Jadikan Media Sosial sebagai Tool, bukan Stage: Gunakan untuk menyebarkan konten bermanfaat (jadwal kajian, kutipan ilmu, pengumuman) tanpa terlibat dalam perdebatan tidak produktif atau mencari validasi dari jumlah like.
- Batasi Waktu Penggunaan: Alokasikan waktu khusus untuk mengelola media sosial, misalnya 1-2 jam per hari. Di luar itu, fokuslah pada aktivitas dakwah yang lebih substansial.
- Investasikan pada Diri Sendiri: Waktu yang dihemat dari tidak scroll media sosial dapat digunakan untuk muhasabah, memperdalam ilmu agama melalui kitab-kitab ulama, menulis buku, atau membina komunitas secara offline.
- Hadirkan Keteladanan Langsung: Dakwah terbaik adalah melalui keteladanan dalam perbuatan. Interaksi langsung dengan masyarakat, mendengarkan keluh kesah mereka, dan membina umat secara nyata memiliki dampak yang jauh lebih dalam daripada sekadar viral di dunia maya.
Kesimpulan
Kesuksesan dakwah para ustadz senior adalah bukti nyata bahwa kualitas ilmu dan ketulusan hati tidak bergantung pada popularitas di media sosial. Marilah kita belajar untuk tidak menjadi da'i yang "sibuk secara digital tetapi miskin secara substansi".
Mari kita optimalkan media sosial dengan bijak, namun jangan sampai ia mencuri fokus, waktu, dan ketenangan kita untuk menjalankan amanah dakwah yang sesungguhnya. Utamakanlah kebermanfaatan yang nyata, karena warisan terbaik seorang da'i adalah ilmu yang diamalkan dan keteladanan yang dikenang.