Ustadz, Janganlah Terlalu Sibuk dengan Media Sosial: Belajar Keteladanan dari Para Senior

Ustadz, Janganlah Terlalu Sibuk dengan Media Sosial: Belajar Keteladanan dari Para Senior

Foto profil Sukri A Sangadji, S.Si, M.Si
Sukri A Sangadji, S.Si, M.Si

Guru di PKBM Tadib Yogyakarta

Posted on 09 September 2025

Dalam era digital yang serba terhubung seperti sekarang, media sosial bagai pisau bermata dua. Di satu sisi, ia menawarkan jangkauan dakwah yang luas dan instan. Namun di sisi lain, ia justru bisa menjadi jerat yang mengalihkan fokus dari esensi dakwah itu sendiri. Jika kita mencermati para ustadz senior yang telah melahirkan banyak murid dan karya, ada pola kebijaksanaan yang patut kita teladani.

Keteladanan yang Nyata: Fokus Tanpa Distraksi

Coba perhatikan para ulama dan ustadz senior seperti Ustadz Abu Nida حَفِظَهُ اللهُ dengan kajian-kajian tauhidnya yang mendalam, Ustadz Annur Rofiq حَفِظَهُ اللهُ dengan pembahasan fiqhnya yang detail, Ustadz Abdul Hakim bin Amir  Abdat حَفِظَهُ اللهُ dengan keteguhan dalam berpegang pada sunnah, atau Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas رَحِمَهُ اللهُ  dengan kitab-kitab tulisan beliau yang menjadi rujukan. Kehidupan mereka tidak kita lihat sibuk mengurusi update status, like, share, atau komentar di media sosial.

Mereka memilih untuk fokus pada tujuan utama: mendalami ilmu, menulis karya, dan membina umat secara langsung. Konsistensi inilah yang membuat dakwah mereka kokoh, berkelanjutan, dan menghasilkan buah yang nyata—berupa generasi yang berilmu, buku-buku yang bermanfaat, dan komunitas yang kuat. Kesuksesan dakwah mereka tidak diukur dari jumlah pengikut, tapi dari kedalaman ilmu dan dampak positif yang mereka tinggalkan bagi umat.

Data dan Fakta: Dampak Negatif Media Sosial yang Terabaikan

Memang tidak dapat dipungkiri, platform seperti Facebook, Instagram, YouTube, dan TikTok memiliki manfaat untuk syiar. Namun, berbagai penelitian telah membuktikan dampak negatifnya yang besar:

  1. Gangguan Mental dan Stres: Sebuah studi yang diterbitkan dalam Journal of Social and Clinical Psychology menemukan korelasi antara penggunaan media sosial yang tinggi dengan peningkatan perasaan depresi dan kesepian. Algoritma yang dirancang untuk membuat kita "ketagihan" seringkali memicu fear of missing out (FOMO), kecemasan, dan perbandingan sosial yang tidak sehat.
  2. Penyebaran Hoaks dan Polarisasi: World Health Organization (WHO) bahkan menyebut fenomena "infodemic" (banjir informasi berlebihan, termasuk misinformasi) selama pandemi. Media sosial menjadi faktor utama penyebaran hoaks dan ujaran kebencian yang memecah belah masyarakat.
  3. Penguras Waktu dan Produktivitas: Data dari We Are Social dan Hootsuite (2023) menunjukkan rata-rata orang Indonesia menghabiskan 3 jam 18 menit per hari di media sosial. Bayangkan jika waktu yang sedemikian besar dialihkan untuk membaca kitab, menulis, atau mempersiapkan materi dakwah.

Seruan untuk Bijak: Utamakan Dakwah Substansial

Bagi seorang da'i, media sosial hanyalah alat, bukan tujuan. Terjebak dalam hiruk-pikuknya justru dapat mengaburkan misi utama. Berikut beberapa langkah bijak yang dapat diambil:

  1. Jadikan Media Sosial sebagai Tool, bukan Stage: Gunakan untuk menyebarkan konten bermanfaat (jadwal kajian, kutipan ilmu, pengumuman) tanpa terlibat dalam perdebatan tidak produktif atau mencari validasi dari jumlah like.
  2. Batasi Waktu Penggunaan: Alokasikan waktu khusus untuk mengelola media sosial, misalnya 1-2 jam per hari. Di luar itu, fokuslah pada aktivitas dakwah yang lebih substansial.
  3. Investasikan pada Diri Sendiri: Waktu yang dihemat dari tidak scroll media sosial dapat digunakan untuk muhasabah, memperdalam ilmu agama melalui kitab-kitab ulama, menulis buku, atau membina komunitas secara offline.
  4. Hadirkan Keteladanan Langsung: Dakwah terbaik adalah melalui keteladanan dalam perbuatan. Interaksi langsung dengan masyarakat, mendengarkan keluh kesah mereka, dan membina umat secara nyata memiliki dampak yang jauh lebih dalam daripada sekadar viral di dunia maya.

Kesimpulan

Kesuksesan dakwah para ustadz senior adalah bukti nyata bahwa kualitas ilmu dan ketulusan hati tidak bergantung pada popularitas di media sosial. Marilah kita belajar untuk tidak menjadi da'i yang "sibuk secara digital tetapi miskin secara substansi".

Mari kita optimalkan media sosial dengan bijak, namun jangan sampai ia mencuri fokus, waktu, dan ketenangan kita untuk menjalankan amanah dakwah yang sesungguhnya. Utamakanlah kebermanfaatan yang nyata, karena warisan terbaik seorang da'i adalah ilmu yang diamalkan dan keteladanan yang dikenang.

Komentar

Belum ada komentar.

Tambah Komentar

Artikel Terbaru

Temukan bacaan yang memperkaya keilmuan Anda.

Ketika Pengabdian Berakhir dengan Ketidakadilan: PHK Sepihak di Lembaga Pendidikan

Di balik gedung-gedung megah lembaga pendidikan, tersimpan cerita kelam yang jarang terungkap. …

Sukri A Sangadji, S.Si, M.Si 15 Agu 2025
Dilema Jenjang Karir di Yayasan: Ketika Pengabdian Bertemu Ketidakpastian

Kisah Seorang Pengabdi yang Terlupakan Di sebuah sudut ruang kerja yayasan yang …

Sukri A Sangadji, S.Si, M.Si 12 Agu 2025
Kisah Pilu Pekerja 10 Tahun tanpa Status PKWTT: Ketika Pengabdian Bertemu Ketidakpastian

Di sebuah sudut lembaga pendidikan yang ramai dengan aktivitas belajar mengajar, terdapat …

Sukri A Sangadji, S.Si, M.Si 06 Agu 2025
Homo Homini Lupus: Refleksi tentang Sifat Dasar Manusia

"Homo homini lupus" - manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Ungkapan Latin …

Sukri A Sangadji, S.Si, M.Si 29 Jul 2025
Hubungi Edutadib via WhatsApp