Di sudut pabrik raksasa PT Sri Rejeki Isman (Sritex) di Solo, mesin-mesin jahit yang dulu bersuara bising kini terdiam. Ribuan bangku kosong menjadi saksi bisu. "Minggu lalu, kami dikumpulkan di aula. Tanpa basa-basi, pengumuman PHK dibacakan," tutur Rahmat (37), mantan pekerja yang telah mengabdi selama 12 tahun.
Kisah Rahmat hanyalah satu dari 10.000 cerita pekerja Sritex yang mendadak kehilangan mata pencaharian. Pabrik tekstil yang dulu menjadi kebanggaan Indonesia ini terpaksa memangkas 40% produksinya akibat ketidakmampuan bersaing dengan serbuan produk impor, terutama dari China.
"Kami seperti petani tradisional yang dipaksa bertanding dengan traktor modern," ungkap Iwan Lukminto, Direktur Sritex, dalam wawancara eksklusif.
Jelajahi Pasar Tanah Abang atau pusat perbelanjaan tekstil di kota besar mana pun di Indonesia. Pemandangan yang sama akan menyambut Anda: hamparan produk bertuliskan "Made in China" dengan harga yang mencengangkan—hingga 50% lebih murah dari produk lokal.
"Ini bukan lagi persaingan bisnis biasa, tapi sudah menjadi invasi ekonomi," tegas Ade Sudrajat, Ketua Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API). "Kami berjuang dengan sumber daya terbatas, sementara produk impor masuk tanpa hambatan berarti."
Data mengonfirmasi kekhawatiran tersebut. Per 2023, nilai impor dari China mencapai US$66,3 miliar—meningkat 12% dari tahun sebelumnya. Khusus untuk sektor tekstil, impornya mencapai US$4,2 miliar, menguasai hampir 60% pasar domestik.
Posisi Indonesia dalam peringkat global memperlihatkan kondisi mengkhawatirkan:
"Bagaimana mungkin kita bisa bersaing ketika untuk produksi tekstil saja, 70% bahan bakunya masih impor?" pertanyaan retoris Ade Sudrajat yang menggambarkan paradoks industri nasional.
Untuk melakukan ekspor, pengusaha Indonesia harus melewati 13 prosedur berbeda—dua kali lipat dari Vietnam. Ini belum termasuk "biaya siluman" yang menurut laporan Indonesia Corruption Watch (2023) masih marak di sektor logistik.
"Kami ingin ekspor, tapi ongkosnya sering kali melebihi keuntungan," keluh Santoso, pemilik UMKM garmen di Bandung yang kini beralih menjadi importir.
Meski pemerintah terus membangun, 40% jalan nasional masih dalam kondisi rusak (KemenPUPR, 2023). Biaya listrik untuk industri 30% lebih mahal dibandingkan China, belum lagi masalah konektivitas internet yang belum merata.
"Kalau mau kirim barang dari Solo ke Jakarta saja sudah mahal, apalagi ke luar negeri," tambah Iwan Lukminto.
Revolusi Industri 4.0 sepertinya masih menjadi jargon di Indonesia. Data Kementerian Perindustrian (2023) menunjukkan hanya 12% pabrik nasional yang menerapkan teknologi otomasi. Sementara itu, pabrik-pabrik di China bahkan sudah menerapkan kecerdasan buatan dalam lini produksinya.
"Tenaga manusia tak lagi kompetitif untuk produk massal. Kita butuh otomasi, tapi biayanya tidak terjangkau bagi sebagian besar pabrik," jelas Dr. Bambang Susanto, pakar manufaktur dari ITB.
Di balik kemegahan marketplace digital, UMKM Indonesia masih berjuang. Hanya 15% yang memiliki akses ke pembiayaan perbankan. Program digitalisasi pemerintah pun belum merata, sehingga banyak yang gagal naik kelas.
"Saya ingin berkembang, tapi modal dari mana? Bunga pinjaman tinggi, persyaratan rumit," ungkap Siti (42), mantan pekerja Sritex yang kini berjualan gorengan.
Alih-alih menutup pasar, Indonesia perlu menerapkan "proteksi cerdas." KADIN mengusulkan bea anti-dumping hingga 200% untuk produk tekstil impor yang terbukti merusak pasar. Selain itu, pengetatan standar kualitas dan keamanan produk juga mendesak dilakukan.
"China sendiri melindungi industrinya selama puluhan tahun sebelum bersaing global. Kenapa kita tidak?" tanya ekonom Faisal Basri.
Biaya logistik yang mencapai 24% dari PDB harus ditekan. Pembangunan 10 pelabuhan khusus industri hingga 2025 dan subsidi angkutan multimodal bisa menjadi solusi jangka menengah. Jangka panjangnya, integrasi total sistem transportasi nasional adalah keniscayaan.
"Singapura bisa menjadi hub logistik dunia tanpa sumber daya alam. Indonesia dengan 17.000 pulau seharusnya bisa lebih hebat," kata Dr. Rhenald Kasali.
Program "1 Pabrik 1 Robot" dengan insentif pajak bisa menjadi terobosan. Kolaborasi dengan negara-negara maju seperti Jerman dan Korea Selatan untuk transfer teknologi juga perlu dipercepat.
"Kita tidak perlu malu belajar dari negara lain. China melakukannya selama dekade 80-90an, dan lihat posisi mereka sekarang," ujar Prof. Hermawan Kartajaya, pakar marketing internasional.
Platform "Proudly Indonesian" yang mempertemukan UMKM dengan pasar global perlu segera diluncurkan. Pelatihan penerapan AI dan teknologi terkini untuk 100.000 UMKM bisa menciptakan lapangan kerja baru sekaligus meningkatkan daya saing.
"Estonia dengan 1,3 juta penduduk bisa menciptakan Skype. Indonesia dengan 280 juta orang pasti bisa menciptakan lebih banyak inovasi," kata Nadiem Makarim, pengusaha teknologi.
Setengah juta siswa SMK perlu dipersiapkan khusus untuk manufaktur 4.0. Program magang wajib di pabrik berteknologi tinggi dan kolaborasi dengan industri dalam penyusunan kurikulum bukan lagi pilihan, tapi keharusan.
"Jepang bangkit dari kehancuran pascaperang melalui pendidikan. Indonesia harus melakukan hal yang sama," tegas Sandiaga Uno, Menkoperekraf.
Krisis Sritex dan tantangan industri nasional saat ini harus menjadi titik balik. Anggaran Rp 300 triliun untuk sektor industri pada 2025 harus dikelola dengan tepat untuk:
"Pilihan ada di tangan kita: bertahan menjadi 'korban' globalisasi, atau bangkit menjadi pemain utama di pasar domestik dan global," tegas Menteri Perindustrian dalam pidato terbarunya.
Statistik Penting | Angka |
---|---|
Nilai Impor Tekstil dari China | US$ 4,2 Miliar (2023) |
Pekerja Terdampak PHK | 10.000 (Sritex) + 50.000 (UMKM) |
Potensi Pasar Domestik 2025 | US$ 130 Miliar |
Industri yang Berisiko Tinggi | Tekstil, Elektronik, Mainan, Furnitur |
Kebutuhan Investasi Teknologi | Rp 450 Triliun hingga 2030 |
Sejarah mencatat, negara-negara yang kini maju pernah mengalami fase yang sama. Jepang bangkit dari kehancuran perang. Korea Selatan bertransformasi dari negara agraris menjadi raksasa teknologi. Vietnam berhasil menjadi basis manufaktur global hanya dalam dua dekade.
"Indonesia punya semua modal untuk menjadi negara industri maju: sumber daya alam, tenaga kerja, dan pasar domestik yang besar. Yang kita butuhkan hanyalah kebijakan tepat dan eksekusi yang konsisten," tutup Prof. Emil Salim, ekonom senior.
Seperti kata pepatah: "Saat terbaik untuk menanam pohon adalah 20 tahun lalu. Saat terbaik kedua adalah hari ini." Mungkin sudah terlambat untuk mencegah PHK di Sritex, tapi belum terlambat untuk menyelamatkan masa depan industri Indonesia.
Sumber Data:
No comments yet.
Temukan bacaan yang memperkaya keilmuan Anda.
Peringatan Islam dan Sains: Bahaya Pornografi yang Merusak Akal dan Akhlak
Ketika Kecerdasan dan Gelar Tak Mampu Melindungi …
Menyiapkan Pendidikan di Era AIGen: Tantangan, Inovasi, dan Relevansi Tujuan Pembelajaran
Dunia pendidikan global sedang mengalami transformasi besar-besaran …
Menjadi Muslim yang Kontemporer: Merawat Iman di Tengah Pusaran Zaman
اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ، اللَّهُ أَكْبَرُ
…
Seni Kepemimpinan Transformatif: Strategi Memberdayakan Tim di Era Digital
Pernahkah Anda bertanya-tanya mengapa beberapa tim tampak …