Menyiapkan Pendidikan di Era AIGen: Tantangan, Inovasi, dan Relevansi Tujuan Pembelajaran

Menyiapkan Pendidikan di Era AIGen: Tantangan, Inovasi, dan Relevansi Tujuan Pembelajaran.

Foto profil Sukri A Sangadji, S.Si, M.Si
Sukri A Sangadji, S.Si, M.Si

Guru di PKBM Tadib Yogyakarta

Posted at April 2, 2025, 5:53 a.m.

Dunia pendidikan global sedang mengalami transformasi besar-besaran seiring dengan kemunculan teknologi kecerdasan buatan generatif (AIGen). Negara-negara, termasuk Indonesia, berusaha "mereset" model pendidikan konvensional untuk menyesuaikan diri dengan perubahan yang dipicu oleh AI. Namun, perubahan ini menimbulkan kegelisahan di kalangan pendidik, dosen, dan pemerintah: Apa indikator keberhasilan pendidikan yang tepat di era ini? Apakah skor ujian nasional, proyek siswa, atau kemampuan menghafal masih relevan? Bagaimana peran deep learning dalam sistem pendidikan? Dan yang terpenting—apakah tujuan pembelajaran tradisional (seperti "siswa mengetahui..." atau "siswa menjelaskan...") masih bermakna?

Tantangan dalam Menentukan Indikator Keberhasilan

Selama puluhan tahun, sistem pendidikan mengandalkan metrik kuantitatif seperti skor ujian nasional,  hafalan materi, atau penyelesaian kurikulum sebagai tolok ukur utama. Namun, di era AIGen, alat seperti ChatGPT, Gemini, atau DALL-E mampu menjawab soal ujian, membuat esai, bahkan merancang proyek kreatif dalam hitungan detik. Hal ini mempertanyakan:  

1. Apakah tes standar masih valid?  

   Jika AI bisa mencapai skor tinggi, apakah nilai ujian masih mencerminkan kompetensi siswa?  

2. Haruskah fokus beralih ke proyek kolaboratif? 

   Kemampuan berpikir kritis, kreativitas, dan kolaborasi mungkin lebih relevan daripada hafalan.  

3. Bagaimana menilai "proses" belajar?

   Di dunia yang serba cepat, proses eksperimen, iterasi, dan adaptasi mungkin lebih penting daripada hasil akhir.  

Pemerintah Indonesia, misalnya, mulai menggali penerapan deep learning dalam sistem pendidikan. Namun, apakah teknologi ini akan menjadi solusi atau justru menambah kompleksitas evaluasi?

Deep Learning dalam Pendidikan: Solusi atau Distraksi?

Deep learning (pembelajaran mendalam) yang direncanakan pemerintah tidak hanya merujuk pada teknologi AI, tetapi juga pada pendekatan pedagogis yang menekankan pemahaman konseptual, analisis multidisiplin, dan penerapan pengetahuan dalam konteks nyata. Namun, tantangan utamanya adalah:  

- Infrastruktur yang tidak merata:

Tidak semua sekolah memiliki akses internet atau perangkat canggih.  

- Kesiapan guru:

Pelatihan intensif diperlukan agar pendidik mampu mengintegrasikan AI ke dalam pembelajaran.  

- Etika dan keamanan:

Risiko plagiarisme, bias algoritma, dan ketergantungan berlebihan pada AI perlu diantisipasi.  

Apakah Tujuan Pembelajaran Tradisional Masih Relevan?

Tujuan pembelajaran klasik seperti "siswa mengetahui..." atau "siswa menjelaskan..." dirasa semakin terdisrupsi oleh kemudahan akses informasi melalui AI. Namun, bukan berarti tujuan ini harus dihapus. Yang perlu diubah adalah cara mencapainya. Contohnya:  

- Dari hafalan ke aplikasi:

Alih-alih menuntut siswa menghafal tahun-tahun sejarah, guru bisa meminta mereka menganalisis pola peristiwa dengan bantuan AI.  

- Dari pengetahuan pasif ke kreasi aktif:

Siswa tidak sekadar "mengetahui" teori fisika, tetapi menggunakan simulasi AI untuk merancang eksperimen virtual.  

- Keterampilan meta-kognitif:

Kemampuan mengelola informasi, menyeleksi sumber, dan berpikir etis menjadi kunci di tengah banjir data dari AI.  

 

Pengalaman Praktis: Dari Textbook ke AIGen 

Pengalaman mengajar yang sebelumnya mengandalkan textbook kini bergeser ke pendekatan berbasis AIGen. Beberapa perubahan yang terlihat:  

1. Personalized learning:

AI mampu membuat materi sesuai tingkat pemahaman dan minat siswa.  

2. Efisiensi waktu guru:

Alat seperti Canva Magic Design atau ChatGPT membantu menyusun RPP, soal, atau presentasi dalam hitungan menit.  

3. Proyek berbasis masalah (PBL):

Siswa diajak menyelesaikan kasus nyata dengan bantuan AI, seperti merancang kampanye lingkungan atau memodelkan solusi ekonomi.  

Namun, tantangan muncul ketika siswa menjadi terlalu bergantung pada AI, kehilangan kemampuan analisis mandiri, atau kesulitan membedakan antara fakta dan halusinasi AI.

Rekomendasi untuk Masa Depan Pendidikan  

1. Redefinisi indikator keberhasilan:  

   - Fokus pada soft skills (kolaborasi, empati, kreativitas).  

   - Gunakan portofolio digital untuk merekam progres holistik siswa.  

2. Integrasi AI yang bertanggung jawab:  

   - Ajarkan literasi AI sejak dini, termasuk kelebihan dan keterbatasannya.  

   - Kombinasikan proyek manusia-AI untuk memacu inovasi.  

3. Revitalisasi peran guru:  

   - Guru sebagai fasilitator dan mentor, bukan sekadar penyampai informasi.  

   - Pelatihan terus-menerus untuk penguasaan alat digital.  

Pendidikan di era AIGen bukan tentang menggantikan manusia dengan mesin, tetapi tentang  memperkuat potensi manusiawi yang tidak bisa direplikasi AI: rasa ingin tahu, imajinasi, dan kebijaksanaan. Pemerintah, dosen, guru, dan siswa perlu berkolaborasi untuk menciptakan ekosistem pendidikan yang adaptif, adil, dan berorientasi pada pembangunan karakter. Ujian nasional mungkin tetap ada, tetapi ia bukan lagi satu-satunya jalan mengukur masa depan.  

 

"Education is not the filling of a pail, but the lighting of a fire." — William Butler Yeats.  

Di tangan kita, api itu harus terus menyala—mesin boleh cerdas, tetapi manusia harus tetap bijak.

Comments

No comments yet.

Add a comment

Artikel Terbaru

Temukan bacaan yang memperkaya keilmuan Anda.

Hubungi Edutadib via WhatsApp