Kisah Pilu Pekerja 10 Tahun tanpa Status PKWTT: Ketika Pengabdian Bertemu Ketidakpastian

Kisah Pilu Pekerja 10 Tahun tanpa Status PKWTT: Ketika Pengabdian Bertemu Ketidakpastian.

Foto profil Sukri A Sangadji, S.Si, M.Si
Sukri A Sangadji, S.Si, M.Si

Guru di PKBM Tadib Yogyakarta

Posted at Aug. 6, 2025, 6:45 p.m.

Di sebuah sudut lembaga pendidikan yang ramai dengan aktivitas belajar mengajar, terdapat sosok yang telah mengabdikan dirinya selama lebih dari satu dekade. Namanya, sebut saja Budi (nama disamarkan), seorang pegawai honor yang telah merasakan pahit manisnya bekerja tanpa kepastian status kepegawaian.

"Sepuluh tahun lebih saya mengabdi di sini," ujar Budi dengan nada lelah namun tetap tegar. "Setiap hari saya datang dengan semangat yang sama, mengerjakan tugas dengan dedikasi penuh, namun status saya masih tetap sama - pegawai honor dengan perjanjian kerja waktu tertentu yang terus diperpanjang."

Mimpi Profesional yang Tertunda

Bekerja bukan sekadar mencari nafkah bagi Budi. Seperti kebanyakan profesional lainnya, ia memiliki impian untuk berkembang, mendapatkan pengakuan atas kontribusinya, dan yang tak kalah penting - memperoleh kehormatan di mata keluarga.

"Ketika orang menanyakan pekerjaan saya, saya bangga menjawab bahwa saya bekerja di lembaga pendidikan. Namun ketika mereka bertanya lebih dalam tentang status kepegawaian saya, di situlah saya merasa kecil," cerita Budi sambil menghela napas.

Selama bertahun-tahun, ia telah berkontribusi dalam berbagai proyek penting lembaga. Mulai dari mengurus administrasi akademik, membantu penyelenggaraan acara besar, hingga menjadi perpanjangan tangan atasan dalam berbagai tugas strategis. Namun, semua dedikasi itu seolah tidak cukup untuk mengubah statusnya menjadi pegawai tetap.

Dilema Hukum yang Tidak Berujung

Sebenarnya, menurut Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, khususnya Pasal 59 ayat (4), Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) hanya boleh dilakukan paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Artinya, secara hukum, seharusnya setelah tiga tahun, status Budi sudah berubah menjadi pegawai tetap.

"Saya sudah mencoba mengajukan hal ini kepada pihak manajemen berkali-kali," ungkap Budi. "Tapi selalu ada alasan teknis, baik itu masalah anggaran, kebijakan institusi, atau prosedur yang belum lengkap. Akhirnya kontrak saya terus diperpanjang dari tahun ke tahun dengan status yang sama."

Ironisnya, meskipun secara de facto Budi telah memenuhi syarat untuk menjadi pegawai tetap berdasarkan masa kerja dan kontribusinya, secara de jure ia masih terjebak dalam lingkaran setan PKWT yang tak berujung.

Dampak Psikologis dan Sosial

Ketidakpastian status kepegawaian ini tidak hanya berdampak pada aspek finansial, tetapi juga psikologis dan sosial. Budi mengaku sering merasa cemas menjelang masa perpanjangan kontrak.

"Setiap menjelang habis masa kontrak, saya selalu deg-degan. Apakah kontrak saya akan diperpanjang lagi? Bagaimana kalau tidak? Kemana saya harus mencari pekerjaan di usia yang sudah tidak muda lagi?" keluhnya.

Dari segi finansial, status honor membuatnya sulit mengakses berbagai fasilitas yang biasanya diperoleh pegawai tetap, seperti tunjangan kesehatan yang memadai, dana pensiun, atau bahkan mengajukan kredit ke bank.

"Bank selalu mempertanyakan status pekerjaan saya. Kontrak kerja yang hanya berlaku setahun membuat mereka ragu memberikan pinjaman jangka panjang. Padahal saya sudah bekerja di sini lebih dari sepuluh tahun," cerita Budi dengan frustrasi.

Suara dari Dalam Hati

Meski mengalami berbagai kesulitan, Budi tetap menjalankan tugasnya dengan profesional. Ia paham bahwa lembaga tempat ia bekerja juga memiliki keterbatasan dan pertimbangan tersendiri dalam mengelola sumber daya manusia.

"Saya tidak ingin terkesan menuntut atau tidak bersyukur. Saya sangat berterima kasih sudah diberikan kesempatan bekerja di sini selama bertahun-tahun. Namun sebagai manusia, tentunya saya juga berharap ada kepastian untuk masa depan saya dan keluarga," ujarnya dengan bijak.

Budi juga mengungkapkan keprihatinannya terhadap rekan-rekan lain yang mengalami nasib serupa. "Kami ini seperti anak tiri dalam sistem kepegawaian. Disatu sisi, kami diandalkan untuk menjalankan berbagai tugas penting. Di sisi lain, status kami tidak pernah jelas."

Refleksi Sistem Kepegawaian

Kisah Budi sebenarnya adalah cerminan dari masalah sistemik yang terjadi di banyak lembaga, baik pemerintah maupun swasta, di Indonesia. Praktik memperpanjang PKWT berkali-kali tanpa mengubah status menjadi pegawai tetap telah menjadi "solusi mudah" bagi institusi untuk menghindari kewajiban memberikan fasilitas pegawai tetap.

Hal ini tentu bertentangan dengan semangat perlindungan pekerja yang diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan. Pekerja seperti Budi seharusnya mendapatkan perlindungan dan kepastian yang lebih baik setelah mengabdikan diri bertahun-tahun.

Harapan di Tengah Ketidakpastian

Meski menghadapi berbagai tantangan, Budi tetap optimis bahwa suatu hari nanti statusnya akan diperjelas. Ia berharap ada perhatian lebih dari pemerintah dan pihak terkait untuk mengatasi masalah sistemik ini.

"Saya berharap ada regulasi yang lebih tegas dan implementasi yang konsisten terkait batas waktu PKWT. Jangan sampai ada lagi pekerja yang harus mengalami ketidakpastian seperti yang saya alami selama bertahun-tahun," harapnya.

Budi juga berpesan kepada rekan-rekan seprofesi untuk tidak mudah menyerah dan terus memperjuangkan hak-haknya secara elegan dan profesional.

Penutup

Kisah Budi adalah representasi dari ribuan pekerja Indonesia yang terjebak dalam status kepegawaian yang tidak jelas. Pengabdian dan profesionalitas mereka seharusnya diapresiasi dengan pemberian kepastian status dan perlindungan yang memadai.

Sudah saatnya semua pihak, mulai dari pemerintah, pembuat kebijakan, hingga pengelola lembaga, untuk lebih memperhatikan nasib para pekerja seperti Budi. Karena di balik setiap kontribusi yang mereka berikan, terdapat harapan akan kehidupan yang lebih baik dan masa depan yang lebih pasti.

Bekerja memang bukan hanya soal mendapatkan upah, tetapi juga tentang dignitas dan pengakuan terhadap kontribusi seseorang. Dan setiap pekerja, tanpa memandang status kepegawaiannya, berhak mendapatkan hal tersebut.

Comments

No comments yet.

Add a comment

Artikel Terbaru

Temukan bacaan yang memperkaya keilmuan Anda.

Hubungi Edutadib via WhatsApp