Sebelum kita bertanya mengapa Indonesia tak mampu menjadi surga bagi orang-orang pintar, atau mengapa putra-putri terbaik bangsa memilih mengabdi di luar negeri, mari kita renungkan satu kata yang mungkin sering diabaikan: **feodalisme**. Bukan sekadar warisan budaya, melainkan penyakit akut yang menggerogoti sendi-sendi kemajuan bangsa. Jika Anda mengira sumber ketertinggalan Indonesia adalah kurangnya sumber daya alam (SDA) atau kecerdasan manusia (SDM), bersiaplah terkejut. Masalahnya lebih dalam: **feodalisme telah membunuh meritokrasi**, menjadikan Indonesia seperti tanah yang subur bagi hierarki kekuasaan, tapi gersang bagi inovasi dan keadilan.
Feodalisme vs. Meritokrasi: Dua Dunia yang Bertolak Belakang
Singapura, negeri tetangga yang dulu belajar dari Indonesia, kini melesat menjadi macan Asia. Rahasianya bukan hanya anggaran pendidikan yang besar, tapi **konsistensi membangun ekosistem meritokratis**. Di sana, profesor diangkat karena publikasi ilmiah, bukan karena kedekatan dengan pejabat. Peneliti mendapat dana karena kualitas proposal, bukan karena "restu" atasan. Tidak ada "raja kecil" yang bisa memutuskan nasib orang lain berdasarkan suka atau tidak suka.
Sementara di Indonesia, feodalisme masih bersarang di ruang-ruang strategis:
1. Dunia Pendidikan: Rektor kerap menjadi politisi berjubah akademisi. Promosi dosen tak jarang bergantung pada loyalitas, bukan kompetensi. Mahasiswa kritis dianggap "pembangkang", bukan calon pemikir.
2. Birokrasi: Jabatan diisi berdasarkan senioritas atau koneksi, bukan kinerja. Inovasi dianggap ancaman bagi status quo.
3. Dunia Kerja: Perusahaan keluarga lebih memilih kerabat meski tak kompeten daripada merekrut talenta luar.
Hasilnya? Indonesia kehilangan 10-15% tenaga ahli setiap tahun(data LPEM UI, 2022). Mereka yang berprestasi memilih hijrah ke negara yang menghargai kompetensi, seperti Singapura, Amerika, atau Jerman.
Feodalisme: Virus yang Menghambat Inovasi
Feodalisme tidak hanya tentang "sungkan" pada atasan, tapi juga sistem yang mematikan daya kritis. Lihatlah nasib para peneliti Indonesia: hanya 1% yang mampu mempublikasi karya di jurnal internasional (Scimago, 2023). Bandingkan dengan Singapura yang memiliki 5 universitas terbaik dunia (QS Ranking, 2024). Mengapa?
Di kampus-kampus Singapura, **kebebasan akademik adalah harga mati**. Tidak ada intervensi politik dalam riset, tidak ada dosen yang merasa "paling benar", tidak ada mahasiswa yang dicekik oleh doktrin "harus patuh". Sebaliknya, budaya feodal di Indonesia menciptakan lingkungan yang hierarkis dan tertutup. Diskusi dibatasi oleh rasa "tidak pantas", sementara kritik dianggap pengkhianatan.
Konsekuensi: Negeri yang Terus Mengimpor Kepintaran
Feodalisme bukan hanya membuat SDM terbaik kabur, tapi juga menjadikan Indonesia **penonton di panggung global**. Negara ini mengandalkan tenaga ahli asing untuk proyek strategis, dari tambang hingga infrastruktur. Sementara anak-anak terpintarnya menjadi profesor di MIT, insinyur di SpaceX, atau dokter di Johns Hopkins.
Bahkan di dalam negeri, perusahaan startup unicorn lebih banyak dipimpin oleh lulusan luar negeri. Lulusan dalam negeri? Terjebak dalam labirin birokrasi dan budaya "tunggu perintah".
Jalan Keluar: Menjadi Tuan di Negeri Sendiri
Untuk menghentikan arus #KaburAjadulu, Indonesia perlu operasi besar-besaran:
1. Merombak Sistem Pendidikan: Jadikan kampus sebagai zona bebas feodalisme. Rekrut pemimpin akademik berdasarkan track record, bukan koneksi.
2. Revolusi Birokrasi: Ganti sistem senioritas dengan penilaian kinerja transparan. Beri penghargaan pada inovator.
3. Budaya Meritokrasi: Dorong perusahaan dan institusi publik mengadopsi sistem rekrutmen terbuka. Hapus praktik "orang dalam".
Seperti kata Tan Malaka, *"Tujuan pendidikan itu untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan."* Tapi bagaimana mungkin kecerdasan bertumbuh jika akar feodalisme masih membelit?
Penutup: Indonesia Bisa, Asal...
Feodalisme adalah musuh bersama yang tak kasatmata. Ia ada di mindset kita saat lebih memilih "nuwun sewu" daripada menyampaikan kritik, atau saat menganggap atasan sebagai "yang tak pernah salah". Singapura membuktikan: menjadi modern tak perlu menghilangkan jati diri, tapi berani membuang mentalitas kolot.
Jika hari ini kita mulai menata ulang sistem, mungkin 20 tahun mendatang, anak-anak Indonesia tak perlu lagi kabur ke negeri orang untuk dihargai. Mereka akan bangga berkarya di tanah air, karena Indonesia bukan lagi kerajaan feodal, tapi rumah bagi semua talenta.
#KaburAjadulu bukanlah solusi. Mari perbaiki sistem, bukan lari darinya.
No comments yet.
Temukan bacaan yang memperkaya keilmuan Anda.
Dinamika Perdagangan AS-China: Trump Mempertimbangkan Pelunakan Kebijakan Tarif
Presiden Donald Trump baru-baru ini mengisyaratkan kemungkinan …
Peringatan Islam dan Sains: Bahaya Pornografi yang Merusak Akal dan Akhlak
Islam …
Menyiapkan Pendidikan di Era AIGen: Tantangan, Inovasi, dan Relevansi Tujuan Pembelajaran
Dunia pendidikan global sedang mengalami transformasi besar-besaran …
Menjadi Muslim yang Kontemporer: Merawat Iman di Tengah Pusaran Zaman
Jamaah Shalat Idul Fitri yang Dimuliakan Allah,