"Homo homini lupus" - manusia adalah serigala bagi manusia lainnya. Ungkapan Latin kuno ini merangkum paradoks mendasar dalam kondisi manusia yang telah menjadi bahan refleksi para filsuf selama berabad-abad.
Manusia, dalam keadaan alamiahnya, memiliki potensi destruktif yang mengkhawatirkan. Tanpa bimbingan etika dan pendidikan yang memadai, manusia cenderung menampilkan perilaku yang tidak berbeda jauh dari hewan buas. Sejarah mencatat betapa mudahnya peradaban runtuh ketika struktur moral dan sosial melemah, memunculkan kembali insting primitif yang tersembunyi di balik topeng kesopanan.
Insting untuk bertahan hidup, yang dalam konteks evolusi pernah menjadi keunggulan, kini dapat menjadi bumerang dalam masyarakat modern. Dorongan untuk mendominasi, menguasai sumber daya, dan mengeliminasi pesaing masih tertanam kuat dalam jiwa manusia. Tanpa pengendalian diri dan nilai-nilai moral, insting ini dapat meledak menjadi konflik, perang, dan kekerasan yang mengerikan.
Namun, manusia juga dianugerahi kemampuan untuk belajar dan bertransformasi. Pendidikan, dalam arti yang luas, menjadi pembeda fundamental antara manusia dan hewan. Melalui pendidikan etika, nilai-nilai kemanusiaan, dan pengetahuan, manusia dapat menjinakkan sisi gelap dalam dirinya.
Proses pembelajaran ini tidak hanya melibatkan transfer informasi, tetapi juga pembentukan karakter, empati, dan kesadaran moral. Ketika manusia memahami konsekuensi dari tindakannya, ketika ia dapat merasakan penderitaan orang lain sebagai penderitaannya sendiri, barulah ia dapat melampaui sifat destruktifnya.
Ironisnya, kemajuan teknologi dan peradaban tidak selalu berbanding lurus dengan kemajuan moral manusia. Sejarah abad ke-20 membuktikan bahwa masyarakat yang paling maju secara teknologi pun dapat melakukan barbarisme yang tidak kalah kejamnya dari zaman purba. Holocaust, genosida, dan berbagai bentuk kekerasan massal menunjukkan bahwa "serigala" dalam diri manusia tidak pernah benar-benar punah.
Menyadari potensi destruktif dalam diri manusia bukanlah alasan untuk pesimisme, melainkan panggilan untuk tanggung jawab kolektif. Setiap generasi memiliki kewajiban untuk mendidik generasi berikutnya, menanamkan nilai-nilai kemanusiaan, dan membangun sistem yang dapat mengendalikan insting primitif manusia.
Institusi pendidikan, keluarga, agama, dan masyarakat sipil berperan crucial dalam proses humanisasi ini. Mereka harus bekerja sama menciptakan lingkungan yang mendorong pengembangan sisi terbaik manusia sambil mengontrol sisi terburuknya.
Ungkapan "manusia adalah serigala bagi manusia lain" bukan sekadar sinisme filosofis, tetapi peringatan yang harus kita ambil serius. Manusia memang memiliki potensi untuk menjadi monster bagi sesamanya, tetapi ia juga memiliki kapasitas untuk menjadi malaikat. Pilihan ada di tangan kita: apakah kita akan membiarkan insting primitif menguasai peradaban, atau kita akan terus berjuang membangun dunia yang lebih manusiawi melalui pendidikan, empati, dan kebijaksanaan kolektif.
Hanya dengan mengakui sisi gelap dalam diri kita, kita dapat bekerja untuk mengatasinya. Dan hanya dengan pendidikan yang berkelanjutan, kita dapat memastikan bahwa peradaban manusia terus maju menuju pencerahan, bukan kemunduran ke dalam kegelapan primitif.
No comments yet.
Temukan bacaan yang memperkaya keilmuan Anda.
Ketika Pengabdian Berakhir dengan Ketidakadilan: PHK Sepihak di Lembaga Pendidikan
Di balik gedung-gedung megah lembaga pendidikan, tersimpan …
Dilema Jenjang Karir di Yayasan: Ketika Pengabdian Bertemu Ketidakpastian
Kisah Seorang Pengabdi yang Terlupakan
Di …
Kisah Pilu Pekerja 10 Tahun tanpa Status PKWTT: Ketika Pengabdian Bertemu Ketidakpastian
Di sebuah sudut lembaga pendidikan yang ramai …
Homo Homini Lupus: Refleksi tentang Sifat Dasar Manusia
"Homo homini lupus" - manusia adalah serigala …