Kisah Seorang Pengabdi yang Terlupakan
Di sebuah sudut ruang kerja yayasan yang sederhana, seorang karyawan senior duduk menatap surat penunjukan jabatan baru untuk rekan kerjanya yang baru bergabung enam bulan lalu. Sudah dua puluh tahun ia mengabdikan dirinya untuk yayasan ini, namun jenjang karirnya masih di tempat yang sama. Sementara itu, orang yang baru datang dengan modal koneksi dan latar belakang tertentu dengan mudah naik ke posisi strategis.
Cerita ini bukanlah fiksi, melainkan realitas yang kerap terjadi di berbagai yayasan di Indonesia. Ketidakadilan dalam jenjang karir telah menjadi isu kronis yang menggerogoti semangat para pengabdi di sektor non-profit.
Yayasan di Indonesia masih sangat kental dengan budaya feodalistik yang mengutamakan kedekatan personal, hubungan kekeluargaan, dan modal sosial ketimbang kompetensi dan prestasi kerja. Sistem "siapa yang kamu kenal" seringkali lebih berpengaruh daripada "apa yang bisa kamu lakukan."
Fenomena ini menciptakan dua kelas dalam organisasi yayasan:
Struktur pembiayaan yayasan yang bergantung pada donasi dan wakaf masyarakat menciptakan dinamika unik. Tidak seperti perusahaan yang harus bersaing di pasar, yayasan seringkali merasa "aman" dengan sumber pendanaan yang relatif stabil dari para dermawan.
Kondisi ini mengakibatkan:
Perusahaan komersial beroperasi dalam lingkungan yang kompetitif dimana survival bergantung pada kemampuan menghasilkan produk atau jasa terbaik. Hal ini mendorong mereka untuk:
Perusahaan harus mempertahankan kepuasan pelanggan untuk memastikan kelangsungan bisnis. Begitu pula dengan kepuasan karyawan yang langsung berkorelasi dengan produktivitas dan retensi talenta. Yayasan, sayangnya, seringkali abai terhadap aspek-aspek ini karena tidak ada tekanan pasar langsung.
Yayasan perlu mengadopsi prinsip-prinsip tata kelola yang baik dengan:
Mengembangkan sistem manajemen SDM yang komprehensif meliputi:
Mengurangi ketergantungan pada satu atau beberapa donatur dengan:
Membangun budaya kerja yang menghargai:
Ketidakadilan jenjang karir di yayasan bukan sekadar isu internal organisasi, melainkan cerminan dari sistem yang perlu direformasi secara menyeluruh. Yayasan yang ingin berkelanjutan dan memberikan dampak maksimal bagi masyarakat harus berani melakukan transformasi dari organisasi berbasis kedekatan menjadi organisasi berbasis merit.
Perubahan ini memerlukan komitmen dari semua level, mulai dari pengurus hingga karyawan. Hanya dengan profesionalisme yang sejati, yayasan dapat mengembalikan kepercayaan publik dan menjalankan misi sosialnya dengan optimal.
Pengabdian tanpa penghargaan yang adil adalah eksploitasi berkedok mulia. Saatnya yayasan di Indonesia bangkit dari zona nyaman dan membuktikan bahwa organisasi sosial pun bisa menjadi rumah bagi profesional sejati.
No comments yet.
Temukan bacaan yang memperkaya keilmuan Anda.
Ketika Pengabdian Berakhir dengan Ketidakadilan: PHK Sepihak di Lembaga Pendidikan
Di balik gedung-gedung megah lembaga pendidikan, tersimpan …
Dilema Jenjang Karir di Yayasan: Ketika Pengabdian Bertemu Ketidakpastian
Kisah Seorang Pengabdi yang Terlupakan
Di …
Kisah Pilu Pekerja 10 Tahun tanpa Status PKWTT: Ketika Pengabdian Bertemu Ketidakpastian
Di sebuah sudut lembaga pendidikan yang ramai …
Homo Homini Lupus: Refleksi tentang Sifat Dasar Manusia
"Homo homini lupus" - manusia adalah serigala …