Dalam upaya mendalami makna Islam yang sejati, saya merenungkan dan membaca hadis ketiga dalam kitab Ba’dul Wahyi (Permulaan Wahyu) yang terdapat dalam Shahih Bukhari. Karya monumental ini adalah kumpulan hadis sahih yang disusun oleh Imam Bukhari, seorang ulama besar yang dedikasinya terhadap ilmu menjadi teladan sepanjang zaman.
Membaca hadis ini membawa kita pada sebuah perjalanan batin yang mendalam, mengajak kita menyaksikan momen luar biasa ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam menerima wahyu pertama. Bayangkan, dalam keheningan dan kegelapan Gua Hira, Malaikat Jibril ‘alaihis-salam datang membawa perintah besar kepada Nabi:
“Bacalah!”
Namun, Nabi yang ummi—tidak bisa membaca dan menulis—diliputi kebingungan dan ketakutan. Dengan penuh kerendahan hati, beliau menjawab, “Aku tidak bisa membaca.” Tetapi perintah itu tidak berhenti di sana. Malaikat Jibril mendekap Nabi dengan kuat, membuatnya sesak, lalu mengulangi perintah itu:
“Bacalah!”
Nabi menjawab lagi, “Aku tidak bisa membaca.”
Hingga akhirnya, pada dekapan ketiga, Jibril menyampaikan firman agung yang menjadi awal dari risalah Islam:
“Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan.”
Begitu dalam pelajaran yang terkandung dalam momen ini. Nabi yang tidak bisa membaca justru diangkat menjadi pembawa wahyu yang pertama kali diperintahkan untuk membaca. Sebuah pesan yang menegaskan bahwa membaca adalah gerbang ilmu, cahaya yang menuntun hati, dan kunci kebangkitan peradaban.
Islam adalah Agama Berperadaban Literasi
Literasi dalam Islam bukan hanya sekadar kemampuan membaca dan menulis, tetapi juga tentang memahami, menerapkan, dan menganalisis informasi dengan mendalam. Seperti yang dikemukakan oleh Anderson & Krathwohl (2001), literasi mencakup keterampilan untuk memahami informasi dan menggunakan pengetahuan baru dalam kehidupan sehari-hari.
Namun, aktivitas literasi umat Islam di masa lalu tidak didorong oleh materi atau insentif finansial. Imam Bukhari, misalnya, menghabiskan bertahun-tahun hidupnya untuk meneliti hadis, menempuh perjalanan panjang, dan menghadapi berbagai rintangan, semua itu bukan karena uang atau keuntungan duniawi. Ia melakukannya demi menjaga keaslian ajaran Rasulullah dan untuk mencerdaskan umat.
Sejarah peradaban Islam menunjukkan bahwa literasi adalah tiang utama yang diperjuangkan oleh individu, masyarakat, dan pemerintah Muslim saat itu. Perpustakaan megah dibangun, buku-buku ditulis dan diterjemahkan, serta ilmu pengetahuan berkembang pesat berkat kecintaan yang mendalam terhadap literasi.
Di masa lalu, umat Islam rela berkorban demi menuntut ilmu:
Namun, kini umat Islam banyak yang jauh dari kebanggaan terhadap buku, jurnal penelitian, dan artikel ilmiah. Sebaliknya, mereka justru merasa bangga membeli gadget terbaru, seperti iPhone atau Samsung, atau mobil mewah, padahal semua itu hanya menambah beban keuangan dan menguras waktu yang seharusnya digunakan untuk belajar.
Hubungan Kemiskinan dan Literasi
Dalam laporan angka melek huruf, negara-negara dengan tingkat literasi terendah di dunia sebagian besar diisi oleh negara-negara yang dilanda kemiskinan tinggi. Kemiskinan dan buta huruf cenderung berjalan beriringan, saling memperburuk satu sama lain.
Misalnya, di daerah-daerah miskin, akses terhadap pendidikan seringkali terbatas. Meskipun sekolah tersedia, banyak keluarga yang kesulitan ekonomi sehingga mereka memerlukan anak-anak mereka untuk bekerja dan membantu mencari nafkah, ketimbang mengirim mereka ke sekolah.
Sebagian besar negara dengan tingkat literasi terendah berada di Asia Selatan, Asia Barat, dan Afrika sub-Sahara, wilayah yang juga mencakup sebagian besar negara termiskin di dunia.
Berdasarkan data UNESCO (2023), sekitar 771 juta orang dewasa di dunia masih buta huruf, dengan dua pertiga di antaranya adalah perempuan. Sebagian besar dari mereka tinggal di negara-negara berkembang di wilayah Asia Selatan, Asia Barat, dan Afrika Sub-Sahara.
Berikut beberapa contoh negara dengan tingkat literasi rendah dan kaitannya dengan kemiskinan:
Kesimpulan
Literasi adalah fondasi utama yang membangun peradaban Islam. Wahyu pertama yang diterima Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan,” menegaskan pentingnya membaca sebagai pintu gerbang ilmu pengetahuan, iman, dan kemajuan. Islam memuliakan literasi sebagai sarana untuk memahami agama, meningkatkan kualitas hidup, dan memajukan masyarakat.
Sejarah Islam menunjukkan bahwa literasi bukan hanya sebuah kemampuan teknis, tetapi juga sebuah perjuangan yang melibatkan pengorbanan besar. Ulama-ulama terdahulu, seperti Imam Bukhari, rela menempuh perjalanan panjang, hidup sederhana, dan menghabiskan waktu bertahun-tahun demi menjaga kemurnian ilmu dan menyebarkan kebaikan. Aktivitas literasi mereka tidak didorong oleh materi, melainkan oleh cinta kepada Allah dan Rasul-Nya serta tanggung jawab untuk mencerdaskan umat.
Namun, kenyataan saat ini menunjukkan penurunan semangat literasi di kalangan sebagian umat Islam. Banyak yang lebih bangga dengan pencapaian materi, seperti gadget dan kendaraan mewah, dibandingkan dengan prestasi intelektual. Rendahnya minat terhadap buku, jurnal ilmiah, dan karya literasi lainnya menjadi tantangan besar yang harus dihadapi.
Hubungan antara kemiskinan dan literasi juga menambah kompleksitas masalah ini. Data UNESCO (2023) menunjukkan bahwa mayoritas negara dengan tingkat literasi terendah adalah negara-negara miskin, seperti Niger, Chad, dan Somalia. Kemiskinan menghambat akses pendidikan, menyebabkan banyak anak-anak harus bekerja daripada belajar. Buta huruf menjadi penghalang utama bagi mereka untuk keluar dari lingkaran kemiskinan, menciptakan siklus yang terus berulang.
Oleh karena itu, penting bagi umat Islam untuk kembali memuliakan tradisi literasi. Membaca, menulis, dan menyebarkan ilmu harus menjadi bagian integral dari kehidupan sehari-hari. Hanya dengan literasi, umat Islam dapat meraih kembali kejayaan peradaban, mengatasi kemiskinan, dan memberikan kontribusi nyata bagi dunia. Malu menjadi Islam, jika kita malas membaca.
referensi :
No comments yet.
Temukan bacaan yang memperkaya keilmuan Anda.
Kekecewaan Orang Tua di Lembaga Pendidikan
Ketika lembaga pendidikan, yang seharusnya menjadi benteng …