Kekecewaan Orang Tua di Lembaga Pendidikan

Kekecewaan Orang Tua di Lembaga Pendidikan.

Foto profil Darmawanta, S.Km, MM
Darmawanta, S.Km, MM

Pegawai Puskesmas Banguntapan 3, Kab Bantul

Posted at Dec. 5, 2024, 1:18 p.m.

Ketika lembaga pendidikan, yang seharusnya menjadi benteng ilmu dan karakter bangsa, berubah menjadi entitas kapitalis yang hanya berorientasi pada keuntungan materi dan pertumbuhan bisnis, maka yang tersisa hanyalah kekecewaan dan tangisan orang tua.

Betapa ironis dan menyedihkan, sebuah sektor yang seharusnya menjadi pilar utama dalam membangun masa depan bangsa kini bergerak dalam bingkai kapitalisme. Lembaga pendidikan, baik swasta maupun negeri, mendapatkan sumber pendanaan yang melimpah, mulai dari dana BOS, SPP, dana pembangunan, hingga hibah, wakaf, dan donasi dari dalam maupun luar negeri. Namun, yang terjadi adalah minimnya evaluasi yang ketat dari pemerintah daerah, provinsi, hingga pusat terkait efektivitas pendidikan serta dampak penggunaan dana besar yang telah dikucurkan.

Pertanyaan-Pertanyaan Mendasar

  • Apa sebenarnya tujuan utama lembaga pendidikan ini?
  • Mengapa SPP ditetapkan sebesar itu?
  • Untuk apa dana pembangunan ditentukan sedemikian besar?
  • Bagaimana sebenarnya penggunaan dana BOS yang begitu besar?

Apakah lembaga pendidikan pernah benar-benar melakukan refleksi mendalam? Para akademisi, yang seharusnya menjadi pilar berpikir kritis dan bijaksana, apakah telah mengambil keputusan berdasarkan akal sehat, ilmu pengetahuan, dan analisis data yang memadai?

Problem Mendasar Pendidikan di Indonesia

Pendidikan di Indonesia menghadapi sejumlah problem mendasar yang membutuhkan perhatian serius. Berikut adalah beberapa permasalahan utama:

  1. Kesenjangan Kualitas Pendidikan
    Data dari Programme for International Student Assessment (PISA) menunjukkan bahwa peringkat Indonesia masih rendah dalam hal kemampuan membaca, matematika, dan sains. Kesenjangan kualitas ini semakin terlihat antara daerah perkotaan dan pedesaan. Sekolah di kota cenderung memiliki fasilitas yang lebih baik dibandingkan sekolah di daerah terpencil.
  2. Minimnya Anggaran yang Tepat Sasaran
    Meski alokasi anggaran pendidikan mencapai 20% dari APBN, banyak dana yang tidak tepat sasaran. Dana BOS, misalnya, sering digunakan untuk kebutuhan administratif, sementara kebutuhan esensial seperti perbaikan fasilitas belajar dan pelatihan guru tidak terpenuhi secara optimal.
  3. Rendahnya Kompetensi Guru
    Menurut data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, banyak guru di Indonesia belum memenuhi standar kompetensi profesional. Guru adalah ujung tombak pendidikan, tetapi pelatihan berkelanjutan untuk meningkatkan kompetensi mereka sering kali diabaikan.
  4. Beban Administrasi yang Tinggi
    Guru sering kali dibebani tugas administrasi yang berlebihan, sehingga waktu dan energi yang seharusnya digunakan untuk mengajar justru habis untuk menyelesaikan pekerjaan administratif. Hal ini berdampak pada kualitas pembelajaran di kelas.
  5. Minimnya Akuntabilitas Pengelolaan Dana
    Dana pendidikan, termasuk dana BOS, sering kali kurang transparan pengelolaannya. Kasus penyelewengan anggaran pendidikan masih sering terjadi, yang berimbas pada ketidakpercayaan masyarakat terhadap sistem pendidikan.
  6. Fokus pada Hasil Akademik, Bukan Pengembangan Karakter
    Sistem pendidikan di Indonesia sering kali terlalu berfokus pada pencapaian nilai ujian dan ranking akademik, tanpa memberikan perhatian cukup pada pembentukan karakter, moral, dan keterampilan hidup siswa.
  7. Kekurangan Fasilitas dan Infrastruktur
    Masih banyak sekolah yang tidak memiliki fasilitas memadai, seperti perpustakaan, laboratorium, atau bahkan ruang kelas yang layak. Hal ini menghambat proses pembelajaran yang optimal.
  8. Kurangnya Inklusi Pendidikan
    Anak-anak dengan kebutuhan khusus sering kali kesulitan mendapatkan akses pendidikan yang sesuai. Sekolah inklusi masih sangat terbatas, dan pelatihan guru untuk mendukung anak-anak berkebutuhan khusus belum merata.
  9. Tingkat Putus Sekolah yang Tinggi
    Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa angka putus sekolah di Indonesia, terutama di tingkat SMP dan SMA, masih cukup tinggi. Hal ini sering kali disebabkan oleh faktor ekonomi dan kurangnya motivasi belajar.
  10. Dominasi Kapitalisme dalam Pendidikan
    Banyak lembaga pendidikan, terutama yang berbasis swasta, lebih berorientasi pada keuntungan daripada memberikan pendidikan berkualitas. Hal ini menciptakan kesenjangan sosial di mana hanya anak-anak dari keluarga mampu yang dapat mengakses pendidikan berkualitas tinggi.

 

Tangisan dan Harapan Orang Tua

Tangisan orang tua semakin pecah saat menyadari betapa kapitalisnya sistem yang menggerakkan lembaga pendidikan saat ini. Harapan mereka sederhana: pendidikan berkualitas untuk anak-anak mereka. Namun, kenyataan berbicara lain. Di balik janji-janji manis, banyak orang tua menemukan bahwa lembaga pendidikan lebih terfokus pada branding dan pemasaran, yang sering kali hanya sebatas kemasan tanpa isi.

Tak sulit menemukan iklan lembaga pendidikan berseliweran di media sosial, penuh dengan klaim cemerlang tentang fasilitas modern, metode pembelajaran inovatif, dan prestasi akademik yang gemilang. Namun, di balik layar, banyak lembaga pendidikan gagal memberikan perhatian penuh terhadap kebutuhan siswa dan harapan orang tua.

Urgensi Service Excellence dalam Pendidikan

Untuk mengatasi persoalan ini, lembaga pendidikan perlu mengadopsi konsep service excellence sebagai pilar utama dalam pengelolaan institusi. Konsep ini tidak hanya berfokus pada penyampaian layanan pendidikan, tetapi juga memastikan bahwa setiap siswa, orang tua, dan pemangku kepentingan mendapatkan pengalaman yang luar biasa melalui langkah-langkah berikut:

  1. Empati dalam Pelayanan
    Memahami kebutuhan siswa dan orang tua secara mendalam adalah langkah awal. Orang tua harus merasa dihargai, didengar, dan dilibatkan dalam setiap proses. Komunikasi yang terbuka, transparan, dan responsif adalah kunci untuk menciptakan kepercayaan.
  2. Kualitas Pendidikan yang Berfokus pada Nilai
    Service excellence berarti memastikan bahwa program pendidikan dirancang untuk memberikan dampak nyata. Pendidikan tidak boleh sekadar menjadi produk komersial, tetapi juga menjadi sarana pembentukan moral, karakter, dan kemampuan siswa yang berorientasi pada masa depan.
  3. Komitmen pada Akuntabilitas
    Setiap dana yang diterima, baik dari negara maupun orang tua, harus dikelola dengan transparansi dan tanggung jawab penuh. Lembaga pendidikan harus mampu memberikan laporan yang jelas, baik kepada pemerintah maupun kepada orang tua, mengenai penggunaan dana dan dampaknya terhadap mutu pendidikan.
  4. Inovasi untuk Kepuasan Pengguna Layanan
    Lembaga pendidikan harus mampu berinovasi, baik dalam metode pembelajaran, penggunaan teknologi pendidikan, maupun layanan administratif. Orang tua dan siswa membutuhkan pengalaman pendidikan yang efisien, menyenangkan, dan relevan dengan perkembangan zaman.
  5. Refleksi dan Evaluasi Berkelanjutan
    Refleksi bukan hanya untuk siswa, tetapi juga untuk institusi pendidikan. Evaluasi program dan layanan secara rutin menjadi bagian penting untuk meningkatkan kualitas pendidikan sesuai kebutuhan siswa dan harapan orang tua.

Kembali ke Esensi Pendidikan

Lembaga pendidikan, sebagai pondasi bangsa, tidak boleh kehilangan arah. Kini saatnya kembali kepada esensi pendidikan: mencetak generasi yang tidak hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki moral yang kokoh dan nilai-nilai kemanusiaan yang luhur.

Dengan mengedepankan konsep service excellence, lembaga pendidikan dapat menjadi sumber kebahagiaan, harapan, dan masa depan yang cerah, bukan lagi sumber kekecewaan dan keluh kesah. Pendidikan yang berorientasi pada pelayanan terbaik akan membangun kepercayaan, menghormati aspirasi orang tua, dan memenuhi kebutuhan generasi penerus bangsa.

Comments

No comments yet.

Add a comment

Artikel Terbaru

Temukan bacaan yang memperkaya keilmuan Anda.

whatsapp